30 April 2008

TIDAK NGERI DENGAN BARANG TANPA GARANSI RESMI

Kontan, Minggu II, April 2008, 16-April-2008

Tidak Ngeri Dengan Barang Tanpa Garansi Resmi


Berhati-hati membeli barang di peritel besar agar tidak tertipu produk selundupan

Membeli barang di took ritel besar dan terkenal ternyata belum bisa menjadi jaminan bahwa barang yang dibeli adalah barang legal. Dus, konsumen harus benar-benar teliti agar tidak terjebak membeli barang berstatus illegal.

Anda pilih belanja elektronik di mana? Di pasar seperti Glodok atau pasar modern? Belanja di pasar modern jelas lebih nyaman, harganya pun pasti, tidak perlu tawar-menawar lagi. Anda juga tak perlu khawatir, karena barang elektronik gerai modern lazimnya bergaransi resmi, bukan garansi toko.

Tren belanja elektronik dan teknologi informasi di gerai modern memang meningkat. Tahun 2005, misalnya, belanja elektronik dan TI Indonesia berkisar Rp 25 triliun. Jika saban tahun ada pertumbuhan pasar 20%, tahun lalu pasar Indonesia menyerap barang elektronik dan TI senilai Rp 36 triliun. Nah, sekitar 30% dari angka tersebut disumbang oleh peritel modern.

Hanya, belakangan ternyata barang-barang di gerai modern bukan melulu datang dari prinsip elektronik resmi di negara ini. Tak ubahnya pasar tradisional, disana terselip pula barang yang tak punya garansi resmi Indonesia.

Kejadian ini menimpa salah seorang konsumen Carrefour. Ceritanya, dua tahun yang lalu konsumen tersebut membeli televisi LG di Carrefour. Televisi itu belakangan rusak. Merasa membeli produk resmi, dia pun membawa televisi tersebut ke service center milik LG. Setelah diperiksa oleh teknisi LG, baru ketahuan bahwa televisi yang dibelinya bukan jenis yang didistribusikan secara resmi oleh distributor resminya di Indonesia. Atau istilah kerennya barang black market.

Kasus Carrefour tadi bukan pertama kali. “Kami pernah mendengar ditemukan kejadian serupa, tapi jumlahnya tak banyak,” papar Handojo Sutanto, Sekretaris Jenderal Electronic Marketer Club (EMC).

Kejadian ini juga bukan hanya menimpa Carrefour. Seorang eksekutif dari perusahaan elektronik di Indonesia mengatakan pihaknya pernah menemukan kasus serupa di gerai Hypermart. “Ada produk dengan brand kami tapi nomor serinya tidak tercatat,” ungkap si eksekutif tadi yang tidak bersedia namanya disebut.

Maklum saja, sebab jumlah barang elektronik selundupan yang beredar di Indonesia masih terhitung besar. Memang tidak ada data yang pasti berapa banyak barang elektronik selundupan yang beredar di Indoenesia. Tapi diperkirakan, dari semua barang elektronik yang ada di pasaran saat ini, 20%-25%nya adalah selundupan. Jumlah tersebut sebenarnya sudah berkurang cukup banyak dibandingkan dengan tiga tahun lalu. Saat itu, jumlah produk elektronik selundupan di Indonesia mencapai angka di atas 50%.

Menghindari pajak

Lazimnya, dalam kejadian seperti disebut tadi peritel tidak memperoleh barang-barang yang dijualnya dari distributor resmi, melainkan dapat pasokan barang dari importir umum.

Hal itulah yang terjadi pada Carrefour. “Kami tidak mendapat barang tersebut dari black market, tapi dari importir umum,” ujar Irawan Kadarman, Direktur Korporasi Carefour Indonesia. Kata Irawan, ada periode tertentu Carrefour mengambil barang dari importir umum.

Menurut produsen elektronik yang dihubungi KONTAN, pasokan yang diambil dari jalur importir umum inilah yang rentan dengan barang-barang dari pasar gelap. Maklum, agen pemegang merek alias prinsipal sulit untuk mengontrol aktivitas para importir umum.

Menurut sumber KONTAN yang tahu lalulintas barang elektronik, ada beberapa tempat yang lazim didatangi importir untuk mencari barang murah buat dijual ke pasar Indonesia. Salah satu yang cukup terkenal adalah Singapura dan Hongkong. Pajak di sana tidak terlalu besar, sehingga harga barang juga lebih murah.

Lucunya, ada juga importir nakal yang ternyata mengambil barang dari distributor resmi produk tersebut di sana. “Jadi, produknya memang resmi produk yang diproduksi oleh brand si prinsipal, tapi spesifikasi produk itu bukan untuk dijual di negara tempat prinsipal berada ,” kata Irfan Suryanto, Manajer Umum Pemasaran PT Sharp Indonesia.

Dus, garansi barang tersebut juga tidak dapat dipenuhi oleh prinsipal di Indoensia. Alhasil, barang itu pun tetap dikategorikan barang black market.

Lantas, bagaimana barang-barang hasil pasar gelap tadi bisa sampai ke rak pajangan di gerai-gerai besar?

Para produsen elektronik menuding semua ini bermula dari getolnya para peritel besar mengumbar diskon. Akibatnya, peritel kurang hati-hati dalam memilih pemasok. “Ada kompetisi yang sangat ketat di antara gerai modern, sehingga mereka cari barang yang murah supaya mereka bisa kasih diskon,” beber Handojo.

Peluang ini lantas disabet importir nakal yang menjanjikan barang dengan harga murah. Alhasil, si peritel bisa memberikan diskon yang lumayan untuk konsumen mereka.

Ada beberapa hal yang menyebabkan harga jual dari importir nakal tadi lebih murah. Salah satunya, si importir mengakali nilai pajak barang tersebut. “Ada dua cara yang biasa dipakai importir nakal kalau memasukkan barang,” kata Handojo.

Pertama, mereka berusaha memperkecil pajak yang harus mereka bayar dengan menyebutkan harga barang lebih murah ketimbang harga aslinya. “Misalnya, barang harganya US$ 1.000 dia sebut Cuma US$ 100,” imbuh Handojo, memberi contoh.

Kedua, importir tadi memasukkan barang tanpa membayar pajak serta bea dan cukai sepeserpun. Padahal lazimnya, “Barang elektronik itu harus bayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 25% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%”, kata Budi Setiawan, Manajer Umum Penjualan PT LG Electronics Indonesia. Dus, si importir bisa mengurangi biaya jual produk sampai 35%. Jumlah yang gede, kan?

Selain itu, para penjual barang-barang pasar gelap tidak perlu menanggung biaya promosi dan pemasaran dan tidak perlu repot-repot menaruh investasi untuk membangun jaringan layanan purna jual.

Tak asal pilih pemasok

Di lain pihak, saat ini persaingan di antara para pemasok juga semakin ketat. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Retail Modern Indonesia (AP3MI) Susanto, sekarang posisi tawar pemasok terhadap pasar modern yang berlomba cari pemasok, sekarang pemasok yang berebut memasukkan barang ke pasar modern.

Alhasil, supaya bisa memasukkan barang ke peritel besar, pemasok pun berusaha menjual barang dengan harga murah. Jadi, “Semuanya ini kan terjadi karena suka sama suka, pasar modern cari barang murah, pemasoknya menyediakan,” tandas Susanto.

Menurut seorang eksekutif di sebuah perusahaan elektronik, pihaknya sebenarnya sudah beberapa kali melakukan komplain ke beberapa ritel besar yang ternyata menjual produk dari black market, termasuk Carrefour. “Kami juga pernah mengadukan hal ini ke Departemen Perdagangan, tapi tidak ada tindak lanjutnya,” keluh sumber KONTAN tadi.

Para peritel besar sendiri membantah bahwa mereka tidak berhati-hati dalam memilih pemasok ke gerai mereka, termasuk importir nakal yang mengakali pajak. “Masa kami berhubungan dengan perusahaan yang tidak jelas? Ya, itu tidak mungkin,” kilah Irawan.

Menurut Irawan, dalam memilih pemasok, Carrefour selalu mempertimbangkan tiga hal: kualitas pemasok, jaminan pasokan yang bisa diberikan pemasok, dan juga prospek pasar barang yang ditawarkan si pemasok. “Kalau kualitas barang bagus, pasokan terjamin, tapi prospek pasar tidak menjanjikan, tidak bisa kami terima juga,” ujar dia.

Saat ini Carrefour memiliki sekitar 3.700 pemasok.

Selain produk-produk elektronik yang sudah terkenal, para peritel juga menjual beberapa produk elektronik bikinan China. Walaupun begitu, para peritel mengaku tidak asal pilih produk China yang dijual. “Untuk merek-merek China, kami ambil barang dari prinsipalnya di Indonesia yang berbentuk distributor nasional,” kata Danny Konjongian, Direktur Korporat Matahari Putra Prima, pemilik Hypermart.

Hypermart sendiri saat ini memiliki sekitar 5.000 pemasok. “Yang aktif, dalam arti secara regular mengirimkan barang, ada sekitar 1.000 sampai 1.500 pemasok,” imbuh Danny.

Sementara itu, untuk menjamin kualitas dan keaslian barang-barang yang dipajang di gerai, pihak Electronic City mengaku selalu mengambil barang langsung dari prinsipal atau distributor resmi yang ditunjuk oleh prinsipal.

Jadi, “Semua barang yang ada di Electronic City dijamin sepenuhnya oleh prinsipal,” sebut Harjanto Joewono, Direktur Komersial Electronic City. Electronic City akan menolak kalau garansi barang tersebut hanya diberikan oleh pihak pemasok

Jangan Tertipu dengan Harga Murah

Kalau membeli barang elektronik di toko elektronik kecil dan menemukan barang black market, itu mungkin sudah biasa. Namun, Anda juga harus berhati-hati membeli barang elektronik di toko-toko yang sudah ternama. Barang pasar gelap pun bisa menyusup dalam rak toko besar itu.

Rasanya memang aneh kalau menemukan barang pasar gelap di rak pajangan sebuah toko ternama. “Kalau di toko elektronik yang tidak jelas, konsumen sudah tahu risikonya. Tapi, di tempat penjualan resmi resmi yang besar, seharusnya ada jaminan untuk konsumen kalau produknya itu resmi,” tandas Husna Zahir, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Membedakan barang elektronik yang datang dari pasar gelap dengan barang elektronik yang didistribusikan secara resmi oleh produsen alias prinsipal memang bukan perkara yang mudah. Nah, agar jangan sampai tertipu membeli produk yang masuk ke Indonesia lewat jalur tidak resmi, ada bebrapa trip yang bisa Anda gunakan sewaktu belanja.

Pertama, Anda tetap harus teliti mengenai garansi untuk produk yang akan Anda beli tersebut. “Tanyakan kepada penjaganya soal garansi barang tersebut apakah garansi diberikan si produsen atau diberikan PT atau CV tertentu yang tidak jelas,” ujar Harjanto Joewono, Direktur Komersial Electronic City. Kalau garansi tersebut diberikan oleh perusahaan yang namanya tidak jelas, sebaiknya Anda segera berpikir untuk membeli barang lain.

Tapi, Anda juga harus berhati-hati. Pasalnya, bisa saja walaupun garansi diberikan oleh produsen merek tersebut, tapi ternyata barang itu adalah barang pasar gelap. Sehingga, ketika ada kerusakan, service center merek tersebut tidak bersedia memperbaiki barang itu.

Hal itu bisa terjadi kalau barang tersebut bukan barang yang didistribusikan secara resmi oleh prinsipal produk di Singapura tidak akan digaransi oleh prinsipal barang elektronik yang sama di Indonesia, walaupun mereknya sama dan asli bikinan pabrik mereka.

Kendati Meniti Ranjau, Bisnis Ritel Takkan Mati

Kendati Meniti Ranjau, Bisnis Ritel Takkan Mati
Prospek bisnis ritel di tengah kenaikan harga komoditas
Markus S., Aprillia Ika, Novi Diah H., Wahyu Tri R.
posted by kontan on 04/21/08

JAKARTA. Melesatnya harga-harga komoditas global, seperti minyak bumi, membuat khawatir kalangan pengusaha. Maklum, harga bahan baku yang menjulang bakal mengerek kenaikan harga barang. Ini bisa membuat daya beli konsumen pun bisa jadi terhambat.

Gejala seperti ini, juga merisaukan kalangan peritel. "Apalagi peritel kelas bawah," ucap pengamat ritel, Handaka Santosa. Meski belum ada data pasti, Handaka memperkirakan terjadi penurunan pertumbuhan ritel kelas bawah, sekitar 5%-10%. Ia menunjuk pada pasar tradisional atau toko kelontong.

Nah, apakah hal yang sama bakal mengimbas pada gerai ritel modern? Ternyata setali tiga uang. Misalnya saja, kenaikan harga barang membuat penjualan jaringan Indomaret agak tersendat. Dampaknya, "Kami sudah merasakan kerugian antara 10%-15%," ujar Laurensius Tirta Widjaya, Direktur Operasional PT Indomarco Prismatama, pengelola jaringan Indomaret.

Nampaknya, konsumen tidak lagi jor-joran berbelanja kebutuhan pokok mereka. Saat ini, para konsumen condong selektif dalam memilih barang belanjaan. "Intinya konsumen sudah mulai membatasi belanja mereka," tutur Solihin, General Manager PT Waralaba PT Sumber Alfaria Trijaya, pengelola minimarket Alfamart.

Kendati saat ini kondisi bisnis ritel lagi tidak bagus, toh para peritel masih tetap yakin dengan prospeknya di masa depan. "Bisnis ritel itu tidak akan mati," timpal Solihin, menilai bisnis kebutuhan pokok ini. Lebih ada tren di masyarakat perkotaan, yang lebih suka membeli dengan cara instan, tanpa perlu melakukan tawar-menawar.

Tambah lagi, bagi kalangan menengah ke atas melonjaknya berbagai harga barang, ternyata belum mempengaruhi daya beli mereka. Ini terbukti dari penjualan ritel kelas menengah Matahari yang malah mengalami lonjakan. Yakni, dari rata-rata Rp 900.000 per meter persegi di kuartal pertama 2007 menjadi Rp 1,2 juta per meter pada masa yang sama tahun ini.

Kendati demikian, seluruh pemain tidak berpangku tangan melihat kondisi ini. Mereka tetap punya strategi untuk memancing konsumen berbelanja. Tengok saja, peritel di sekitar kita giat menggelar diskon, purchase with purchase (harga khusus dengan pembelian jumlah tertentu), sampai hadiah undian. Cara tadi masih terbukti ampuh memancing pembeli.

Nah, langkah berikutnya, peritel juga rajin melakukan ekspansi. Meski awalnya harus berinvestasi untuk membuka cabang, toh acapkali itulah cara mendekatkan diri dengan pasar. Buntutnya, kocek tambah tebal.

Lihat saja Alfamart yang bakal memperbesar porsi waralabanya, dari 30% menjadi minimal 40% tahun ini. Matahari pun melakukan hal serupa. Mereka sudah menyiapkan belanja modal hingga Rp 1 triliun untuk menambah gerai Matahari serta Hypermart. Ekspansi gencar ini mereka lancarkan di pasar luar Jawa. "Seperti Sumatra dan Kalimantan yang pasarnya masih lebar," Danny Kojongian, Corporate Communication Director PT Matahari Putra Prima Tbk. Dengan begitu, Matahari yakin pendapatan mereka akal naik 20% jadi Rp 11,5 triliun tahun ini.

Sedangkan Indomaret menargetkan total penjualan Rp 9 triliun di akhir tahun ini, naik dari Rp 7 triliun tahun lalu.

Keyakinan kalangan peritel bukan omong kosong saja. Selain bisnis ini tak lekang oleh waktu, biasanya ada ajang tahunan yang bisa mendongkrak bisnis ini. Seperti liburan panjang atau hari raya.

 
 
 
 

Inflasi Tinggi Mengancam Bisnis Ritel Ramayana

Inflasi Tinggi Mengancam Bisnis Ritel Ramayana

Analis meramal tahun 2008 akan menjadi tahun yang berat bagi perkembangan bisnis Ramayana
Yuwono Triatmodjo
posted by kontan on 04/11/08

JAKARTA. Melonjaknya harga minyak mentah hingga mencapai US$ 112 per barel pada Rabu (9/4) lalu, mengakibatkan para pelaku usaha semakin cemas. Maklum, daya beli masyarakat akan semakin tergerus lantaran harga komoditi lain, termasuk harga makanan, juga pasti akan ikut melejit. Nah, kondisi seperti itu jelas mengancam bisnis perdagangan ritel PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS).

Namun, untuk saat ini, manajemen emiten saham berkode RALS itu masih tetap optimistis. Menurut Direktur Keuangan RALS, Suryanto, selama Januari hingga Maret 2008, penjualan RALS masih meningkat 20% dibandingkan periode yang sama 2007, menjadi Rp 1,04 triliun. "Oleh sebab itu, kami yakin tahun ini bisa membukukan penjualan sebesar Rp 5,6 triliun atau naik sekitar 14% dibanding tahun lalu," ujar Suryanto kepada KONTAN, kemarin (10/4).

Sekadar catatan, RALS mencatatkan peningkatan pendapatan sebesar 9,25%, menjadi Rp 4,89 triliun, pada tahun 2007 lalu. Sedangkan laba bersih Ramayana naik 17,36%, dari Rp 312,55 miliar di 2006 menjadi Rp 366,81 miliar tahun lalu.

Keyakinan manajemen Ramayana itu bukanlah mimpi di siang bolong. Maklum, perusahaan ini memiliki segudang rencana besar. Misalnya, mereka membuka minimal sepuluh gerai dengan total luas mencapai 70.000 meter persegi (m2) pada tahun ini. Ramayana juga akan fokus menggarap pasar-pasar di wilayah luar Jawa. Sebagai catatan, hingga akhir Desember 2007 lalu, jumlah gerai milik RALS telah mencapai 99.

Selain itu, kini, RALS sedang mengembangkan proyek midimarket dengan nama Orangemart. Hingga saat ini, RALS sudah memiliki dua gerai midimarket yang berlokasi di Bintaro dan Cibubur. Menurut Direktur RALS, Setyadi Surya, perusahaannya belum berencana menambah jumlah gerai Orangemart dalam tahun ini.

Analis pesimistis

Namun, para analis memiliki pendapat yang berbeda. Analis Mega Capital, Ratna Lim memprediksi, tahun ini akan menjadi tahun yang berat bagi pertumbuhan bisnis Ramayana. Menurutnya, harga minyak mentah yang ogah turun dari level US$ 100 per barel akan membuat angka inflasi Indonesia semakin tinggi. "Padahal pangsa pasar RALS adalah masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga bahan pokok," ujar Ratna.

Karenanya, pendapatan RALS dari unit department store akan merosot. Maklum, masyarakat akan condong mengurusi perut daripada berbelanja sandang.

Walau dalam kurun waktu lima tahun terakhir rata-rata pertumbuhan laba bersih RALS mencapai 15%, ramalan Ratna sangat konservatif untuk tahun ini. Ia meramal, pendapatan RALS di 2008 hanya tumbuh 2% saja jadi Rp 4,99 triliun. Sekedar perbandingan, pendapatan 2007 RALS mencapai Rp 4,89 triliun.

Ratna juga menghitung, laba bersih RALS di 2008 hanya naik 4% menjadi Rp 381,48 miliar saja. "Makanya, kita tunggu laporan keuangan triwulan I 2008 RALS agar kita bisa melihat dengan jelas seperti apa kondisi pasar," tegas Ratna.

Setali tiga uang, Pardomuan Sihombing, Kepala Riset Paramitra Alfa Sekuritas, juga menilai bahwa target pasar RALS sangat peka terhadap kenaikan harga. Namun, ia melihat konsep Orangemart Ramayana dapat mencuri perhatian masyarakat di masa yang akan datang. "Ceruk bisnis midimarket memang masih terbuka lebar di saat ini," katanya.

Pardomuan meramal, pendapatan RALS pada tahun ini bisa mencapai Rp 5,4 triliun atau naik 10,20% dibandingkan pendapatan 2007. Sedangkan laba bersihnya, ia memperkirakan perseroan ini mampu mencatatkan untung Rp 420 miliar atau naik 14,44% dibandingkan laba bersih di tahun 2007.

Karenanya, Pardomuan merekomendasikan beli saham RALS dengan target harga Rp 910 per saham hingga akhir tahun ini. Sebaliknya, Ratna hanya merekomendasikan tahan saham RALS dengan target harga Rp 765 per saham hingga 12 bulan mendatang.

Sebagai catatan, hingga penutupan perdagangan kemarin (10/4), saham RALS baru dihargai Rp 740 per saham.

 
 
 

Eh, Ada Banyak si Kecil dalam Kurungan Raksasa

Eh, Ada Banyak si Kecil dalam Kurungan Raksasa

Aprillia Ika, Wahyu Tri R., Novi Diah
posted by kontan on 04/21/08

JAKARTA. Pertumbuhan ritel modern kian hari kian ramai. Bahkan, tiap peritel berusaha melebarkan jejaring bisnisnya sampai ke sudut-sudut kota. Pertumbuhan gerai yang pesat tentu mengundang banyak pemasok yang ingin menjajakan barang produksi mereka ke gerai ritel modern tersebut. Alasannya sederhana saja: nama peritel yang sudah dikenal bisa menjadi jaminan barang yang dipasok laku terjual.

Untuk memasukkan barang dagangannya, biasanya para peritel punya dua cara yang sudah umum. Pertama, yakni membeli langsung dari tangan pemasok atau istilahnya purchasing. Tapi, kedua, bisa juga dengan cara lain: "Dengan cara konsinyasi," jelas Danny Kojongian, Corporate Communication Director PT Matahari Putra Prima. Artinya, pemasok menitipkan barangnya untuk dijual peritel.

Ambil contoh Matahari dan Hypermart. Saat ini, mereka bisa merangkul total 6.000 pemasok dari berbagai daerah. Adapun Carrefour saat ini punya 3.700 pemasok nasional. Sekitar 70%-nya merupakan para UKM. Artinya sebagian besar barang yang dijajakan perusahaan asal Prancis itu ternyata berasal dari kalangan industri kecil dan menengah.

Tentu saja, peritel juga memberi syarat tertentu untuk pemasok. Misalnya, kualitas barang harus tetap terjaga. Syarat berikutnya, barang bisa dijual dengan gampang. Artinya, ada konsumen yang membutuhkan barang tersebut.

Yang terakhir, adalah terjaminnya pasokan. "Kita tidak mau jika ada pemasok yang bisa membawa katakanlah 1.000 barang, tahu-tahu, permintaan naik. Misalnya, kita butuh 2.000 buah, ternyata si pemasok tidak bisa memenuhi," ujar Irawan Kadarman, Direktur Corporate Affair PT Carrefour Indonesia.

Pilih yang paling untung

Ada juga syarat tambahan lain. "Mereka sudah lulus uji kelayakan di Departemen Perdagangan dan BPOM," tegas Laurensius Tirta Widjaya, Direktur Operasional PT Indomarco Prismatama, pengelola minimarket Indomaret.

Nah, jangan lupa, ada pula trading term yang harus ditepati pemasok. Misalnya, peritel menetapkan listing fee untuk masing-masing item barang yang dipasok oleh pengusaha. Selain itu, ada perbedaan pelayanan terhadap pilihan cara memasok ke pasar ritel. Jika pilihan yang disepakati adalah beli putus (purchasing), maka barang si pemasok bakal disediakan tempat saja.

Namun jika pilihannya sistem konsinyasi, peritel bakal menyediakan tempat yang bisa diatur sesuai dengan kebutuhan. Ada lagi kelebihannya. Si pemasok bisa mendapat tenaga penjual atau pramuniaga. Sudah begitu, pihak peritel akan melakukan pelatihan singkat (training) terhadap si pramuniaga. Adanya layanan lebih tentu

ada hitung-hitungannya. Nantinya, sekitar 8%-12% keuntungan penjualan produk akan masuk ke kantong pemasok, sedang untuk peritel bisa dapat sekitar 20-35%. Lantas, apa semua produsen kecil bisa masuk ke semua peritel? "Mana yang lebih menguntungkan, itu yang dipilih," ujar Solihin, GM Franchise PT Sumber Alfaria Trijaya.

Siap bersaing merayu peritel?

 
 
 

Pemerintah Batasi Diskon Pangan Ritel Modern

Pemerintah Batasi Diskon Pangan Ritel Modern

Adi Wikanto
posted by kontan on 04/28/08

JAKARTA. Peritel modern tidak bisa lagi jor-joran menggunting harga. Awal bulan ini, pemerintah telah melarang peritel modern memangkas harga produk sensitif hingga jauh di bawah harga pasar.

Yang dimaksud dengan produk sensitif adalah berbagai komoditi pertanian dan peternakan, seperti beras, telur, sayuran, gula, daging, dan buahbuahan.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan (Depdag), Ardiansyah Parman menyatakan, telah mengirim surat edaran ke peritel modern sejak awal bulan ini. "Kami meminta peritel modern tidak melakukan promosi yang melibatkan produk-produk sensitif di bawah harga pasar," kata Ardiansyah, kemarin.

Promosi serta diskon yang dilakukan peritel modern dinilai telah merugikan petani dan peternak secara langsung. Di saat kegiatan promo, para peritel modern lazim menjual produk lebih murah dibandingkan harga jual di pasar tradisional. "Harga murah itu telah menekan harga petani. Banyak pembeli protes, kenapa harga di pasar modernlebih murah dari pasar tradisional," jelas Ardiansyah.

Dalam surat edaran itu, pemerintah juga menghimbau peritel untuk mencari produk lain sebagai alat promosi. Produk yang disarankan masuk dalam kegiatan promosi seperti produk elektronik, tekstil, atau kebutuhan rumah tangga lainnya. "Bila harga petani dan peternak tertekan, malah akan menimbulkan masalah lagi. Jadi, cari produk lain saja-lah untuk promosi," kata Ardiansyah.

Namun Ardiansyah mengakui, sifat surat edaran hanyalah imbauan. Tidak ada sanksi bagi peritel yang tetap nekat menggelar promosi untuk produk sensitif. Meski begitu, Ardiansyah berharap semua peritel melaksanakan agar tidak timbul gejolak sosial dan ekonomi di tingkat petani dan peternak.

Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta menilai, masalah promosi dan diskon merupakan kebijakan masing-masing peritel. "Mereka mau jual harga berapapun sebenarnya tidak masalah. Soalnya, aturan dari pemerintah juga tidak ada," katanya.

Menurutnya, harga jual terbentuk dari mekanisme permintaan dan penawaran. Meski begitu, pihaknya juga tidak akan mempermasalahkan munculnya surat edaran itu. "Semua anggota juga sudah sepakat untuk mematuhi dan melaksanakannya," jelas Tutum.

 
 
 
 

15 April 2008

Carrefour Effect

Carrefour Effect

Oleh: Yuswohady

Kalau di AS kita mengenal istilah ”Wal-Mart Effect”, di Indonesia saya punya istilah yang serupa walaupun tak sepenuhnya sama: “Carrefour Effect”.  Saya sebut demikian, karena dari tahun ke tahun sejak debut pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1989, retail giant asal Perancis ini kian perkasa mendominasi (bahkan menghegemoni) industri ritel Tanah Air. Dan, kalau kecepatan ekspansi perusahaan yang kini memiliki 37 gerai ini bisa terus berlangsung seperti sekarang, bisa jadi “Wal-Mart Effect” seperti yang terjadi di AS bakal terjadi di sini.

Istilah “Wal-Mart Effect” muncul untuk menandai keperkasaan Wal-Mart dalam memengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat AS, baik positif maupun negatif. “Size does matter!” Itu kira-kira istilah yang tepat untuk Wal-Mart. Dengan sekitar 4.000 gerai (termasuk Sam’s Club), perusahaan terbesar di dunia ini mempekerjakan 1,3 juta angkatan kerja AS, dikunjungi 120 juta konsumen tiap minggunya, menguasai 6,5% seluruh penjualan ritel; menguasai 15% impor AS dari Cina. Lantaran menjual produk apa pun, mulai dari deodoran, baju, CD musik, komputer, hingga mobil, maka penjual apa pun di AS bersaing head-to-head dengannya. Wal-Mart adalah “musuh siapa pun”.

Oleh karena ukurannya yang seperti gajah bengkak, Wal-Mart bahkan sampai mampu menekan tingkat inflasi AS melalui kebijakan ”Everyday Low Price”. Namun, karena kebijakan harga miring itu pula ia dikritik habis-habisan karena dinilai menekan karyawan dengan memberi gaji yang rendah untuk memangkas biaya. Wal-Mart juga dituding membunuh peritel tempat ia beroperasi, karena begitu gerai Wal-Mart dibuka, pelan tapi pasti, peritel-peritel lain berguguran, kalah bersaing.

Tidak hanya itu, kebijakan ”Everyday Low Price” juga memakan ”korban” para pemasok. Penguasaan konsumen yang demikian powerful dimanfaatkan Wal-Mart untuk menekan para pemasoknya dengan tujuan memangkas biaya dan mendapatkan harga semurah mungkin. Belum lagi tuduhan LSM-LSM bahwa ia adalah perusak lingkungan dan pemicu global warming kelas wahid di AS. (Silakan e-mail ke yuswohady@gmail.com untuk mendapatkan bahan-bahan pdf mengenai “Wal-Mart Effect” dari saya.)

Walaupun tidak seekstrem kasus Wal-Mart, saya melihat gejala Carrefour kian memiliki kekuatan hegemonis yang berdampak baik maupun buruk kepada industri ritel dan ekonomi nasional secara keseluruhan. ”The Good”, berdampak baik; ”The Bad”, berdampak buruk; dan ”The Ugly”, berdampak sangat buruk.

The Good. Kehadiran Carrefour adalah good news bagi konsumen. Kekuatan hegemonis Carrefour terjadi karena kemampuan perusahaan ini dalam memberikan empat extraordinary value kepada konsumen. Pertama, harga murah; kedua, keberagaman jenis produk; ketiga, kenyamanan; keempat, citra berbelanja. Berkat extraordinary value ini, Carrefour memiliki ”daya hisap” layaknya vacuum cleaner dalam ”menyedot” pelanggan-pelanggan dari peritel lain.

The Bad. Oleh karena keperkasaan Carrefour dalam menggaet konsumen, peritel ini memiliki bargaining position yang sangat powerful dalam berhadapan dengan para pemasoknya. Beberapa waktu lalu saya bertemu dan ngobrol dengan CEO sebuah perusahaan consumer goods. Si CEO ini curhat kepada saya, mengeluh karena dengan makin perkasanya Carrefour, peritel kakap ini menjadi besar kepala dan kian ”jual mahal” kepada pemasok. Keluhnya, Carrefour memasang tarif yang super mahal untuk placement produk-produk di gerainya. Tak pelak lagi, rak-rak dan gondolanya menjadi komoditas yang sangat mahal. ”Apa-apa pakai duit, dan mahal minta ampun,” keluhnya lagi.

Keluhan si CEO di atas bukannya yang pertama. Saya banyak mendengar curhat senada dari para pemilik merek. Bahkan, seperti diungkapkan si CEO, dengan modal penguasaan konsumen itu, Carrefour menekan para pemasoknya untuk mendapatkan harga produk ke konsumen semurah mungkin. Carrefour juga menetapkan ketentuan-ketentuan sepihak yang harus diikuti oleh pemasok, karena kalau tidak mengikuti ketentuan itu jangan bermimpi produk si pemasok ini nongkrong di rak atau gondolanya. Pemeo ”siapa menguasai konsumen, ia menguasai segalanya” pas betul menggambarkan kuatnya bargaining position Carrefour dalam berhadapan dengan pemasoknya.

The Ugly. Dampak destruktif Carrefour rupanya lebih jauh lagi menusuk ke ulu hati. Dampak ini terutama dirasakan oleh pesaingnya dan para distributor. Sekali lagi karena keperkasaannya, ekspansi peritel ini memiliki ”daya gilas” yang begitu dahsyat kepada para pesaingnya, baik besar, menengah, maupun kecil. Kita tahu semua, kehadiran Carrefour (yang menempati posisi di tengah kota) telah menyebabkan supermarket-supermarket punah (”Hero...where are you?”), pasar-pasar tradisional sepi, dan toko gudang rabat, seperti Alfa dan Makro, ikut-ikutan terpuruk.

Dampak yang tak kalah mengenaskan menimpa para distributor berbagai jenis produk. Keberadaan Carrefour menjadikan jatah pekerjaan para distributor beragam produk jadi terpangkas. Rantai nilai distribusi menjadi lebih ”compact”, tak perlu berjenjang-jenjang: cukup dari produsen ke Carrefour, lalu Carrefour langsung ke konsumen akhir. Tak perlu lagi distributor-distributor perantara. Memang, untuk saat ini, fenomena tersebut belum signifikan terjadi. Namun, coba bayangkan, sekiranya jumlah Carrefour sudah demikian masif hingga ke level kota dan kabupaten, dan jenis produk yang dijualnya begitu beragam, seperti yang dilakukan Wal-Mart, tidak tertutup kemungkinan para distributor akan betul-betul kehilangan pekerjaannya.
           
Seburuk-buruknya peritel gajah ini, saya masih tetap cinta Carrefour. Mengapa? Sebab, itu tadi, ia memberi saya dan anak-istri saya harga super miring, ruangan belanja ber-AC nan dingin, one-stop shopping sehingga saya tak perlu pergi ke banyak toko, dan, yang penting... belanja di Carrefour lebih mentereng, jadi bisa ”jaim”. Hehehe....
Ingat!!! ”Menguasai konsumen, berarti menguasai segalanya.”

Penulis adalah direktur eksekutif MarkPlus Institute of Marketing (MIM).