26 December 2007

Carrefour beli Alfa di bawah Rp1.950

www.bisnis.com

Carrefour beli Alfa di bawah Rp1.950

JAKARTA: PT Carrefour Indonesia membeli 75% saham PT Alfa Retailindo Tbk pada level harga di bawah Rp1.950 per saham, sehingga total nilai pembelian maksimum Rp680 miliar.

Komisaris Alfa Djoko Susanto mengatakan kesepakatan negosiasi dengan Carrefour diharapkan rampung pada 28 Desember 2007.

Alfa, yang merintis usahanya pada 1989, pernah menjalankan usaha hipermarket (Alfa Gudang Rabat), dan Alfa Supermarket.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, Alfa menutup lima gerai Alfa Gudang Rabat yang dirintis sejak 1996. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Djoko adalah kalah bersaing dengan Carrefour yang lokasinya tidak jauh dari gerainya.

Sebelum Carrefour memutuskan membeli Alfa, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk sempat mencapai kesepakatan awal untuk mengakuisisi 55% saham atau 257,5 juta saham Alfa milik PT Sigmantara Alfindo pada harga Rp1.600 per saham atau senilai total Rp411,85 miliar.

Namun, keinginan Ramayana untuk mencaplok Alfa kandas di tengah jalan, padahal harga saham Ramayana sempat meroket ketika rencana akuisisi itu diumumkan ke publik. Sigmantara merupakan pemilik 55% saham Alfa, Prime Horizon (Singapura) sebanyak 40%, dan selebihnya publik.

Irawan D. Kadarman, Direktur Corporate Affair Carrefour Indonesia, hanya mau berkomentar singkat, "Kami [Carrefour] baru menandatangani nota kesepahaman [MoU] pada 17 Desember untuk mulai proses negosiasi."

Harga saham Alfa ditutup menurun ke posisi Rp2.175 pada 18 Desember dari penutupan hari sebelumnya Rp2.200 per saham. Bila mengacu pada harga penutupan Rp2.175, berarti harga maksimum pembelian Alfa oleh Carrefour diskon 10,34%.

Djoko menambahkan setelah mengakuisisi, Carrefour segera menjalankan bisnis supermarket. Alfa Retailindo, dengan kapitalisasi pasar US$108,29 juta, memiliki 29 Alfa Supermarket.

Sementara itu, Aprindo meramalkan Carrefour menguasai ritel nasional menyusul kesepakatan masuknya peritel asal Prancis tersebut ke format supermarket setelah mengakuisisi Alfa.

Sangat berbahaya

Carrefour masuk ke pasar ritel di Indonesia sejak 1998 dengan format hipermarket. Berdasarkan survei majalah Retail Asia, peritel terbesar di Eropa tersebut menduduki peringkat pertama toko modern di Indonesia dengan penjualan Rp7,2 triliun tahun lalu.

"Kami perkirakan Carrefour akan menguasai ritel nasional, arahnya akan ke sana," kata Tutum Rahanta, Sekjen Aprindo (Asosiasi pengusaha Ritel Indonesia), kemarin. Aprindo menilai pembelian Alfa oleh Carrefour sangat berbahaya jika ada perusahaan dengan kekuatan yang berlebihan menjalankan usaha dengan bermacam-macam format di suatu negara, apalagi Carrefour yang menjadi terbesar kedua di dunia memulainya dengan format hipermarket.

Menurut Tutum, jika mampu memimpin bisnis di skala paling besar yaitu hipermarket, Carrefour sangat mudah memenangkan persaingan di skala usaha yang lebih kecil.

"Persaingan di peta ritel nasional akan menjadi tidak sehat jika dilihat dari komposisi daya saing. Sebaiknya Carrefour konsisten dengan menjalankan gerai besar [di Indonesia]."

Tutum mengatakan tidak mudah bagi peritel sekalipun yang sudah berpengalaman untuk menekuni bisnis hipermarket, mengingat format toko modern tersebut harus menjual sekitar 50.000 jenis barang, dan penjualan dari separuh produk yang dipajang termasuk lambat (slow moving).

Padahal, supermarket biasanya menyediakan 25.000-30.000 jenis barang, sedangkan minimarket sebanyak 3.000 macam produk dalam satu toko. (linda.silitonga@bisnis.co.id)

Oleh Linda T. Silitonga
Bisnis Indonesia

 
 
 
 

05 December 2007

Supermarket dan Departemen Store Terbuka Bagi Investor Asing

06/11/07 20:38

Supermarket dan Departemen Store Terbuka Bagi Investor Asing


Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mengizinkan investasi asing masuk di bidang usaha ritel khususnya untuk pendirian supermarket berukuran lebih dari 1.200 meter persegi dan departemen store (department store) berukuran lebih dari 2.000 meter persegi.

Deputi Menko Perekonomian bidang Perdagangan dan Industri Edi Putra Irawady, di Jakarta, Selasa mengatakan keputusan tersebut merupakan hasil sinkronisasi dan harmonisasi antara Peraturan Presiden tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, toko, dan pasar moderen (Perpres pasar moderen) dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77/2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka bersyarat (Perpres Daftar Negatif Investasi/DNI).

"Hasilnya antara lain memasukkan supermarket sebagai kegiatan perdagangan skala besar yang terbuka untuk asing," katanya.

Dalam pembahasan interdep dalam Tim nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (Timnas PEPI), yang dimaksud dengan skala besar didefinisikan dengan ukuran luas lantai penjualannya.

"Dalam pembahasan, kata besarnya ini yang disesuaikan berdasarkan ukuran di atas 1.200 meter persegi untuk supermarket dan di atas 2.000 persegi untuk departemen store," jelasnya.

Pada Perpres DNI hasil revisi, pemerintah akan menghapus jenis perdagangan skala besar seperti mal, supermarket, departemen store, pusat pertokoan/perbelanjaan, dan hipermarket yang masuk dalam daftar bidang usaha terbuka untuk investasi dengan syarat lokasi.

Meski demikian, pemerintah tetap akan memberikan kesempatan lebih bagi investor lokal untuk berinvestasi dalam bidang usaha perdagangan/ritel skala kecil dengan menambahkan jenis ritel supermarket dengan luas di bawah 1.200 meter persegi dan departemen store dengan luas di bawah 2.000 meter persegi dalam daftar bidang usaha terbuka untuk investasi dengan syarat 100 persen modal dalam negeri.

"Walau terbuka untuk asing, bagaimanapun kan kontrolnya ada pada pemberi izin nanti. Mereka harus pertimbangkan kondisi sosial ekonomi setempat, persaingan yang sehat, detail tata ruang, termasuk pasokan industri dalam negeri dan usaha kecil menengah dan mikro," jelasnya.

Menurut Edi, persoalan industri ritel secara lengkap telah diatur dalam Perpres pasar moderen yang juga menegaskan pengaturan lokasi berdasarkan ketentuan tata ruang.

"Saya kira pejabat pemberi izin harus bijak mengamankan kepentingan nasional dan tidak kaku melihat aturan secara harfiah menurut dia. Kalau tidak jelas bisa konsultasi ke atas atau departemen yang berwenang. Dan Menteri Perdagangan punya kewenangan untuk mengeluarkan aturan dalam menyelesaikan perkembangan masalah-masalah di lapangan," tambahnya.

Perubahan dalam Perpres DNI itu disesuaikan dengan Perpres pasar moderen yang memberikan pendefinisian berbagai bentuk toko moderen. Perpres tersebut menegaskan bahwa minimarket, supermarket dan hipermarket sebagai toko moderen yang menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya.

Minimarket memiliki luas lantai penjualan kurang dari 400 meter persegi sedangkan supermarket luasnya antara 400-5.000 meter persegi dan hipermarket luarnya di atas 5.000 meter persegi.

Sedangkan departemen store didefinisikan sebagai toko moderen yang menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk sandang dan perlengkapannya dengan luas lebih dari 400 meter persegi serta memiliki penataan barang berdasarkan jenis kelamin atau tingkat usia konsumen.

Perpres pasar moderen juga mendefinisikan pusat perkulakan sebagai usaha perdagangan skala grosir untuk barang konsumsi yang luasnya diatas 5.000 meter persegi. (*)

Copyright © 2007 ANTARA

 
 
 
 

Pertumbuhan Sektor Ritel Tak Merata

12/11/07 16:56

Pertumbuhan Sektor Ritel Tak Merata


Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Asosiasi Pedagang Ritel Indonesia (Aprindo), Handaka Santosa mengatakan pertumbuhan industri ritel hingga Oktober 2007 masih sesuai target yaitu 17 persen namun tidak merata.

"Secara rata-rata masih sesuai dengan target tapi sebetulnya ada yang sedikit di atas dan ada yang agak kurang," katanya di Jakarta, Senin.

Menurut dia, pertumbuhan ritel yang sesuai target terjadi pada golongan ritel untuk kelas menengah dan besar. Sedangkan ritel untuk masyarakat kelas bawah (kecil) tumbuh sedikit di bawah target.

"Tidak bisa bilang akhir tahun ini kita masih optimis karena adanya kenaikan harga minyak mentah dunia telah mempengaruhi konsumen secara psikologis. Itu akan menyebabkan orang menahan belanja," ujarnya.

Target omzet ritel selama 2007 yang dipatok Rp58,5 triliun belum dapat dipenuhi hingga Oktober ini. Namun, ia optimistis pertumbuhan omzet bisa mencapai 17 persen dibanding tahun lalu yang sebesar Rp50 triliun.

Meskipun demikian, Handaka masih optimis omzet 2008 membaik dengan adanya kenaikan Upah Minimum Provinsi,

"Tapi di Januari kita perkirakan akan naik lagi (omzet) karena gaji naik," tuturnya

Selain itu, omzet ritel akan didorong dengan adanya promosi belanja seperti Jakarta Grear Sale dan sebagainya.

"Saya harap tahun depan (omzet) bisa digenjot dengan Jakarta Great Sale dan lain-lain untuk di Jakarta," ujarnya.(*)

Copyright © 2007 ANTARA

 
 
 
 

Matahari Putra dapat peringkat A1.id

Senin, 12/11/2007 18:48 WIB

Matahari Putra dapat peringkat A1.id

oleh : M. Munir Haikal


JAKARTA (Bisnis): PT Moody’s Indonesia memberikan peringkat skala nasional A1.id kepada PT Matahari Putra Prima Tbk.

Moody’s juga menetapkan peringkat korporasi B1 dan utang senilai US$150 juta yang jatuh tempo 2009. Prospek dari peringkat-peringkat ini adalah stabil.

Vice President Moody’s Renee Lam mengatakan peringkat B1/A1.id mempertimbangkan posisi perusahaan sebagai pemimpin pasar yang mempunyai pengalaman operasinal yang lama.

"Peringkat juga mempertimbangkan risiko eksekusi sehubungan dengan rencana Matahari untuk mengembangkan jaringan toko," ujarnya hari ini.

Dia memaparkan rasio pembayaran utang Matahari relatif sama dengan perusahaan sejenisnya pada skala global dalam kategori peringkat yang sama.

Moody’s memperkirakan rasio utang yang disesuaikan terhadap laba sebelum bunga, pajak, amortisasi dan depresiasi berada pada level 5x-5.5x. Lembaga itu akan menaikkan peringkat apabila rasio tersebut turun hingga dibawah 4-4.5x. (tw)

bisnis.com

 
 
 
 
 

Pengelola mal naikkan service charge 10%-20%

Selasa, 13/11/2007 19:32 WIB

Pengelola mal naikkan service charge 10%-20%

oleh : Dwi Wahyuni

SURABAYA (Bisnis): Pelaku usaha pengelola pusat perbelanjaan di Surabaya sepakat menaikkan service charge sebesar 10%-20% pada awal 2008 serta mengenakan denda kepada tenant yang sampai batas tertentu tidak mengoperasikan gerainya.

Didi Woelyadi Simson, ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Jatim, mengatakan keputusan kenaikan service charge terhdap para pedagang itu karena beban yang ditanggung pengelola mal semakin besar.

Apalagi, kata dia, sudah hampir tiga tahun tidak terjadi kenaikan sementara inflasi terus meningkat. Namun besaran nilai kenaikannya diserahkan kepada kebijakan� masing-masing pengelola.

"Asosiasi hanya menyepakati kisaran kenaikan antara 10% hingga 20% karena selama ini tarif service charge pusat perbelanjaan modern di Surabaya cukup bervariasi," ujar Didi kepada Bisnis di Surabaya.

Beberapa mal masih memberlakukan tarif service charge Rp30.000-Rp40.000 per m2. Akan tetapi tidak sedikit mal yang dari awal sudah memberlakukan tarif cukup tinggi yakni di atas Rp75.000 per m2. Itu sebabnya prosentase kenaikannya tidak seragam.

Pengusaha, tambahnya, juga� sepakat untuk mengenakan denda (penalty) bagi tenant dengan batas tertentu tidak membuka tokonya. Namun besaran denda itu masih sedang dalam pembahasan.

"Ada perbedaan angka yang mesti harus dikaji lebih mendalam sehingga nantinya menjadi keputusan yang bisa dilaksanakan oleh semua anggota." (tw)

bisnis.com

03 December 2007

Merek Korsel Dominasi EC Award 2007

Merek Korsel Dominasi EC Award 2007

JAKARTA, KCM -  Merek asal Korea Selatan (Korsel) mendominasi enam kategori Electronic City (EC) Award 2007. Satu merek lokal alias dari Indonesia raih penghargaan pula.

"Ini penghargaan kami untuk model dan merek terbaik dari segi kualitas dan penjualan," kata Commercial Director Electronic City Harjanto Joewono, Kamis (29/11) dalam acara EC Award 2007. Dalam kesempatan itu, Retail Service Director PT AC Nielsen Indonesia Yongky Surya Susilo dan Commercial Director Consumer Electronics-GfK Asia Steven Kaiser. 

Gelaran menyambut hari ulang tahun ke-6 perusahaan ritel elektronik terbesar di Indonesia ini tadinya bertajuk "Brand Gathering". Baru pada 2006, penganugerahan itu menjadi EC Award.

Bekerja sama dengan majalah bulanan Audio Video, EC Award 2007 memiliki enam kategori yakni Televisi CRT, Televisi LCD, DVD player, sistem Home Theater, Mikro Kompo, dan Camcorder. Ada 30 nominasi yang terpilih. Dari jumlah itu, enam di antaranya menjadi peraih EC Award 2007.

Dari sudut merek, produsen elektronik asal Korea Selatan Samsung menempatkan sembilan produknya di nominasi. Sementara, ada tujuh produk LG asal Negeri Ginseng dan enam produk Philips dari Belanda yang juga ikut bersaing. Berikutnya, merek lokal Akira dan dua dari Jepang yakni Toshiba dan Sony, masing-masing menjagokan dua produk. Lalu, Spectra yang asal Amerika Serikat dan JVC dari Negeri Sakura menaruh masing-msing satu andalan.

Peraih EC Award 2007 dari masing-masing kategori adalah Samsung CS-21Z45 (Televisi CRT), LG 32LC7R (Televisi LCD), Akira DVD-2102 (DVD Player), Philips HTS-3357 (sistem Home Theater), Samsung MM-DT8 (Mikor Kompo), dan Sony DCR-DVD708E (Camcorder).   


Penulis: Josephus Primus
 
 
 
 
 

Toko elektronik modern kuasai 51% pangsa pasar

Senin, 03/12/2007

Toko elektronik modern kuasai 51% pangsa pasar

JAKARTA:Toko elektronik modern (specialty store) menguasai 51% pangsa pasar penjualan barang elektronik� di Indonesia, mengungguli transaksi yang terjadi di toko tradisional dan hipermarket.

Harjanto Joewono, Commercial Director Electronic City mengatakan pembeli barang elektronik sangat mempertimbangkan harga, kelengkapan produk, kenyamanan toko, dan garansi.

Faktor lokasi yang dekat dengan rumah, lanjutnya, juga menjadi salah satu pertimbangan penting bagi konsumen untuk menentukan toko yang dituju untuk membeli produk elektronik.

"Biasanya konsumen memutuskan membeli barang elektronik jika membutuhkannya, atau produk yang ada di rumah telah rusak," kata Harjanto di acara peringatan ulang tahun toko modern elektronika Electronic City, pekan lalu.

Jenis produk yang paling banyak terjual di toko Electronic City� adalah audio home system, TV warna, video kamera,oven microwave,kamera digital, visual disc player, kulkas, mesin cuci, dan penyejuk udara.

Dari survei yang dilakukan Electronic City pada 500 responden dari kelas ekonomi menengah dan atas (B dan A), mengungkapkan pertimbangan utama dalam pemilihan produk elektronika adalah harga (28%), kualitas (21%), merek (20%), model (13%), teknologi (12%), warna (4%).

Survei tersebut juga mengungkapkan promosi yang memengaruhi mereka untuk membeli adalah diskon, program pembayaran kredit tanpa bunga, hadiah langsung, dan tukar tambah.

"Pembayaran dengan cara mencicil selama enam bulan justru lebih disukai ketimbang diberikan waktu pelunasan selama satu tahun," kata Harjanto.

Terkait dengan disukainya pembelian produk elektronik dengan cara mencicil, kebanyakan konsumen membeli dengan menggunakan kartu kredit (37%), dengan kartu debit (13%), serta kontan (16%).

Direktur Riteler dan Pengembangan Bisnis Nielsen Indonesia Yongky Surya Susilo mengungkapkan saat ini konsumen menuntut kalangan peritel, termasuk toko elektronik, tidak sekadar menghadirkan toko untuk menjual produknya.

"Konsumen ke depannya juga membutuhkan pengalaman, misal disediakannya sejumlah aktivitas di dalam toko yang menggerakkan mereka untuk membeli suatu produk," kata Yongky.

Oleh Linda T. Silitonga
Bisnis Indonesia

 
 
 
 

Modern electronic stores increasingly aggressive

[November 23, 2007]

Modern electronic stores increasingly aggressive

(The Jakarta Post Via Thomson Dialog NewsEdge) from THE JAKARTA POST -- FRIDAY, NOVEMBER 23, 2007 -- PAGE 6 Hyperstores are now quite a common sight in major cities. This phenomenon has unconsciously lured consumers from various social groups with the promise of modern facilities and other added benefits. Even the industry players have been showing rapid growth. There are a number of major players like Agis, Electronic City, Electronic Solution, Best Denki and others that are geared toward a particular market segment like Bang & Olufsen (B & O) as well as a number of other new players

In the 1980s, Indonesians were believed to be the largest consumer tourist groups bound for shopping blitzes in Singapore. However, with the passage of time, major cities in Indonesia, particularly Jakarta, have turned into megapolitans. As a result, hyperstores are to be found everywhere. A number of these hyperstores involve giant retailers like Carrefour, Giant and Hypermart. As a result, these giant retailers have been dragged into a price war. Today, therefore, it is the consumers who benefit from this, enjoying lower prices, guaranteed quality and reliable after-sales service

Therefore, it is not surprising to find modern electronic stores swarming with visitors. These stores come in two broad categories

First, electronic stores that are part of giant retailer outlets like Carrefour, Giant and Hypermart. In these retail stores, prospective consumers may choose the items they wish to buy and compare one item against another on the basis of price and features. The products on sale are categorized on the basis of types, not brands. Second, there are the electronic shops that sell only electronic goods such as Agis, Electronic City, Electronic Solution and so forth. In these modern electronic stores, the goods on offer are laid out according to brand

In concept, the layout resembles an exhibition

In fact, in Indonesia, Agis was the first modern electronic hyperstore. Agis has gained great popularity as it opened in Indonesia at a time when Indonesia, particularly major cities like Jakarta, were experiencing an electronic craze

In the early 1990s there were many electronic exhibitions recording sales that increased from one year to the next. Owing to this favorable phenomenon, Electronic City came into being in 2001 as one of the pioneers in modern electronic retailers. "It was Electronic City that initiated the use of a retail concept that resembles an electronic exhibition," said Harjanto Joewono, Commercial Director of Electronic City when The Jakarta Post met him some time ago

This concept has earned a favorable response from giant electronic companies like Sharp, Sony, Samsung, LG, Toshiba and others. These companies are allotted a space for their products just like in an exhibition. If they take part in an electronic exhibition at the Jakarta International Convention Center (JICC), for example, these companies must pay for their space but at Electronic City they are exempted from this payment. This means that these companies can put their products of permanent exhibit for brand-minded consumers. For electronic companies, this concept is very attractive and advantageous. Another plus point is that the location of Electronic City is quite strategic so that electronic companies do not have to erect and take down their stands like they do in an exhibition, which usually lasts for only a week

One of the competitors of Electronic City is Electronic Solution

What is interesting about Electronic Solution is that it applies a concept of blending two different genres. Household products are offered at affordable prices and laid out as they are in retail stores. These are placed side by side on the basis of their types, for example electric fans, electric irons, blenders and so forth. As a result, visitors can choose what they wish to buy and then compare the prices and features of the products they desire. This means that it is possible for a consumer to buy a product within his or her budget. Meanwhile, branded products, which are usually expensive, are arranged on the basis of their brand names just like at Electronic City

One of the new players in this industry is Best Denki, a giant Japanese electronic retail network. The outlet located at Senayan City is its 594th and is believed to be the largest in Asia, outside Japan

In addition, there are also more segmented electronic retail players, namely Bang & Olufsen (B&O). B&O is a famous brand from Sweden

B & O indeed has a more specific target market as the products it offers are high-end in nature and suit the upper-income group. The products are in the audio-visual, telephone, sound system and other super-sophisticated multimedia categories. The prices, however, also tend to be very high as they suit the character of the target market of B&O

The rapid growth of modern electronic stores is certainly inseparable from the various benefits they offer in comparison with traditional electronic shops. It comes as no surprise, therefore, that the public has become increasingly addicted to buying electronic goods at modern electronic stores. At first, buyers were worried that the prices offered at major stores would be higher, However, after visiting the stores, their worries evaporate and they will see before them a greater variety of products on offer of a guaranteed quality

In addition, other supporting factors include the comfort of shopping at the store, competitive prices, financing facilities and reliable after-sales services. Then the prices of the products on offer are fixed. As an illustration, there are 12 choices of credit financing companies in collaboration with Electronic City. Nine of them are banks issuing credit cards while the other three are financing companies like AEON, Adira and Sumber Kredit. "People used to embarrassed to buy on credit but that is no longer so. Today, buying things on credit has become part of the urban lifestyle. Electronic City is the first to introduce a 0 percent installment program," said Harjanto, adding that close to 35 percent of consumers at the store make purchases on credit

It is this that has helped Electronic City take the lead in the modern electronic market in Jakarta. According to Harjanto, every month no fewer than 60,000 visitors come to Electronic City in Sudirman Central Business District (SCBD). It is not surprising, therefore, that Electronic City took only two years to reach break-even point. Today, the domination of Electronic City has also been felt in other places in Greater Jakarta, Bandung, Bali and Medan

One of the minus points of a traditional market is that it does not offer fixed prices. If a buyer is good at haggling, he or she can buy something at a lower price. Otherwise, he or she will buy something at a price higher than its actual value even though the item may not have a direct guarantee from the principal. In some cases, the guarantee is provided only by the shops. This means a consumer must be really careful and observant before deciding to buy something. Then, in a traditional market, a consumer will be charged 3 percent for a transaction using a credit or debit card. In a modern electronic store, this transaction cost is waived

Nevertheless, as Harjanto acknowledged, in composition the market for electronic goods is still dominated by the traditional markets. Modern electronic stores can absorb only about 10 - 15 percent of the existing market share. However, in fact, growth has been quite fast as in the early 1990s retailing of this type secured only about 5 percent of the market share

Iwan Suci Jatmiko, Contributor, Jakarta Copyright 2007 The Jakarta Post