10 July 2008

Kalau Bisa, Selengkap Mungkin

Kalau Bisa, Selengkap Mungkin

Hipermarket dituntut menjadi ruang belanja selengkap mungkin, servis

memuaskan, dan tanggap terhadap perkembangan kebutuhan

masyarakat.

Sejak kehadiran ritel modern, pola konsumsi masyarakat Indonesia mengalami

pergeseran. Sebagian massa yang dulu doyan menyambangi pasar tradisional,

sekarang berbondong-bondong lari ke ritel modern. Pasalnya, ritel ini menawarkan

konsep belanja baru yang mengusung kenyamanan, kepraktisan, sekaligus

kelengkapan. Apalagi ritel modern sekelas hipermarket dengan ukuran ruang lebih

besar dan jumlah item produk yang jauh lebih lengkap seperti Makro, Carrefour,

Giant, dan Hypermart.

Konsep “serba ada” yang diusung hipermarket menjadikan ritel modern ini menjadi

tempat distribusi barang apa saja. Bahkan, makin lama sepertinya makin “melahap”

segala produk yang dibutuhkan oleh konsumen. “Kalau orang jauh-jauh pergi ke

hipermarket dan menemukan barang kebutuhannya tidak ada, mereka akan kecewa.

Kelengkapan barang ini harusnya menjadi perhatian penting bagi peritel modern,”

kata Sugiyanto Wibawa, praktisi pemerhati ritel sekaligus Direktur Pengembangan

Ritel PT Hero Supermarket.

Menurut Sugiyanto, hipermarket bertugas menjembatani kebutuhan para produsen

yang ingin menyalurkan produknya dengan konsumen yang mencari produk itu

seturut kebutuhannya. “Kriteria produk masuk ke Giant atau hipermarket lainnya

yang jelas adalah memenuhi kebutuhan konsumen akan barang-barang mainstream.

Itu sudah menjadi sifat hipermarket,” katanya.

Sementara itu, para produsen menyerbu hipermarket karena kondisi di sana lebih

menguntungkan ketimbang pasar tradisional. Produsen bisa memajang produk.

Produk langsung bisa dilihat dan disentuh oleh konsumen. Apalagi kalau

dipromosikan dengan ragam cara yang menarik. “Efek peluncuran produk di ritel

modern ini efeknya jauh lebih cepat,” tutur Sugiyanto.

Lantaran kebutuhan konsumen itu semakin bertambah, pihak peritel umumnya peka

dalam memberikan variasi display barang. Tujuannya untuk menambah variasi

produk sekaligus menambah keuntungan. Termasuk dengan barang-barang yang

sifatnya impulse yang tidak menjadi kebutuhan pokok sehari-hari.

Proses pemajangan produk juga punya aturan tersendiri. Lazimnya, produsen

mendatangi pemilik ritel lebih dahulu. Mereka kemudian mempresentasikan profil

produk berikut keunggulan serta program promosi yang akan dijalankan. Lalu

negosiasi dan agreement pun dibuat. “Sebenarnya, di ritel modern, kami hanya mendisplay

barang saja. Tapi, kalau hanya display dan tanpa promosi, konsumen tidak

akan tahu. Kami harus tahu juga program perkenalan produk dari produsen,”

katanya.

Biasanya, hipermarket sukses melakukan negosiasi mutualisme dengan produsen

maupun distributor. Ada pendapat, bila supermarket sebelumnya menuai margin

laba tinggi dengan mendikte produsen membayar lahan pajang (display price),

hipermarket melakukan jurus potongan harga (discount strategy) dari hasil jual-beli

langsung.

Pada prinsipnya, peritel dan produsen tahu bahwa barang yang akan dipasarkan

melalui ritel modern itu laku jual. Jangan sampai, kata Sugiyanto, produsen sudah

menggelontorkan dana besar kepada pemilik ritel modern, tapi ternyata barangnya

tidak laku. Bagi peritel, kondisi macam ini juga kurang menguntungkan. “Perlu kerja

sama bagaimana membuat produk itu laku,” katanya.

Ada fenomena unik belakangan ini. Banyak produk yang dulunya tidak dipasarkan di

hipermarket, sekarang dijual di sana. Produk yang biasanya dijual di outlet-outlet

specialty, kini sudah turut meramaikan ruang display hipermarket. Kalau kita

menyambangi sebuah hipermarket, voucher seluler juga dijual di sana dan dipajang

di tempat produk yang bersifat impulse (dekat kasir). Tidak hanya itu, di

hipermarket juga ada agen penjualan asuransi, aplikasi kartu kredit, kredit

kendaraan, furnitur, peralatan kantor, sampai urusan hobi.

“Perlu diingat, voucher pulsa sekarang tidak menjadi barang impulse saja. Itu sudah

menjadi kebutuhan basic konsumen. Hampir semua orang pegang handphone

sekarang ini. Ini kerja sama dengan provider di mana ia ingin memasarkan

produknya di outlet sebanyak-banyaknya,” terangnya.

Sementara itu, produk-produk baru yang masuk ke hipermarket umumnya adalah

produk hasil perkembangan teknologi baru pula. Diakui, hampir setiap produk baru

muncul di pasar, tidak lama kemudian produk itu pun ikut berjubel di rak-rak

hipermarket.

“Sebagai pemain ritel, kami selalu mengoptimalkan ruangan yang ada. Selain

menambah pendapatan, yang pertama-tama kami lihat adalah kepuasan pelanggan.

Ritel harus bisa menjadi tempat senyaman mungkin. Produk baru tentu kami

sambut dengan baik,” ujarnya.

Kelengkapan produk tergantung pula pada ukuran ritel modern tersebut.

Minimarket biasanya mampu menampung sekitar 2.000 item barang, supermarket

sekitar 10.000, dan hipermarket bisa mencapai 50.000 macam barang. “Oleh karena

itu, distribusi produk di hipermarket harus melewati proses seleksi sejeli mungkin,”

cetus Sugiyanto.

Perlu diketahui, pendistribusian produk di sebuah hipermarket juga berdasarkan

Majalah MARKETING – Edisi New Distribution Channels / MEI 2008

Copyright@2008 Majalah MARKETING. All Rights Reserved.