Kalau Bisa, Selengkap Mungkin
Hipermarket dituntut menjadi ruang belanja selengkap mungkin, servis
memuaskan, dan tanggap terhadap perkembangan kebutuhan
masyarakat.
Sejak kehadiran ritel modern, pola konsumsi masyarakat Indonesia mengalami
pergeseran. Sebagian massa yang dulu doyan menyambangi pasar tradisional,
sekarang berbondong-bondong lari ke ritel modern. Pasalnya, ritel ini menawarkan
konsep belanja baru yang mengusung kenyamanan, kepraktisan, sekaligus
kelengkapan. Apalagi ritel modern sekelas hipermarket dengan ukuran ruang lebih
besar dan jumlah
item produk yang jauh lebih lengkap seperti Makro, Carrefour,Giant, dan Hypermart.
Konsep “serba ada” yang diusung hipermarket menjadikan ritel modern ini menjadi
tempat distribusi barang apa saja. Bahkan, makin lama sepertinya makin “melahap”
segala produk yang dibutuhkan oleh konsumen. “Kalau orang jauh-jauh pergi ke
hipermarket dan menemukan barang kebutuhannya tidak ada, mereka akan kecewa.
Kelengkapan barang ini harusnya menjadi perhatian penting bagi peritel modern,”
kata Sugiyanto Wibawa, praktisi pemerhati ritel sekaligus Direktur Pengembangan
Ritel PT Hero Supermarket.
Menurut Sugiyanto, hipermarket bertugas menjembatani kebutuhan para produsen
yang ingin menyalurkan produknya dengan konsumen yang mencari produk itu
seturut kebutuhannya. “Kriteria produk masuk ke Giant atau hipermarket lainnya
yang jelas adalah memenuhi kebutuhan konsumen akan barang-barang
mainstream.Itu sudah menjadi sifat hipermarket,” katanya.
Sementara itu, para produsen menyerbu hipermarket karena kondisi di sana lebih
menguntungkan ketimbang pasar tradisional. Produsen bisa memajang produk.
Produk langsung bisa dilihat dan disentuh oleh konsumen. Apalagi kalau
dipromosikan dengan ragam cara yang menarik. “Efek peluncuran produk di ritel
modern ini efeknya jauh lebih cepat,” tutur Sugiyanto.
Lantaran kebutuhan konsumen itu semakin bertambah, pihak peritel umumnya peka
dalam memberikan variasi
display barang. Tujuannya untuk menambah variasiproduk sekaligus menambah keuntungan. Termasuk dengan barang-barang yang
sifatnya
impulse yang tidak menjadi kebutuhan pokok sehari-hari.Proses pemajangan produk juga punya aturan tersendiri. Lazimnya, produsen
mendatangi pemilik ritel lebih dahulu. Mereka kemudian mempresentasikan profil
produk berikut keunggulan serta program promosi yang akan dijalankan. Lalu
negosiasi dan
agreement pun dibuat. “Sebenarnya, di ritel modern, kami hanya mendisplaybarang saja. Tapi, kalau hanya
display dan tanpa promosi, konsumen tidakakan tahu. Kami harus tahu juga program perkenalan produk dari produsen,”
katanya.
Biasanya, hipermarket sukses melakukan negosiasi mutualisme dengan produsen
maupun distributor. Ada pendapat, bila supermarket sebelumnya menuai margin
laba tinggi dengan mendikte produsen membayar lahan pajang (
display price),hipermarket melakukan jurus potongan harga (
discount strategy) dari hasil jual-belilangsung.
Pada prinsipnya, peritel dan produsen tahu bahwa barang yang akan dipasarkan
melalui ritel modern itu laku jual. Jangan sampai, kata Sugiyanto, produsen sudah
menggelontorkan dana besar kepada pemilik ritel modern, tapi ternyata barangnya
tidak laku. Bagi peritel, kondisi macam ini juga kurang menguntungkan. “Perlu kerja
sama bagaimana membuat produk itu laku,” katanya.
Ada fenomena unik belakangan ini. Banyak produk yang dulunya tidak dipasarkan di
hipermarket, sekarang dijual di sana. Produk yang biasanya dijual di outlet-outlet
specialty
, kini sudah turut meramaikan ruang display hipermarket. Kalau kitamenyambangi sebuah hipermarket,
voucher seluler juga dijual di sana dan dipajangdi tempat produk yang bersifat
impulse (dekat kasir). Tidak hanya itu, dihipermarket juga ada agen penjualan asuransi, aplikasi kartu kredit, kredit
kendaraan, furnitur, peralatan kantor, sampai urusan hobi.
“Perlu diingat,
voucher pulsa sekarang tidak menjadi barang impulse saja. Itu sudahmenjadi kebutuhan
basic konsumen. Hampir semua orang pegang handphonesekarang ini. Ini kerja sama dengan provider di mana ia ingin memasarkan
produknya di outlet sebanyak-banyaknya,” terangnya.
Sementara itu, produk-produk baru yang masuk ke hipermarket umumnya adalah
produk hasil perkembangan teknologi baru pula. Diakui, hampir setiap produk baru
muncul di pasar, tidak lama kemudian produk itu pun ikut berjubel di rak-rak
hipermarket.
“Sebagai pemain ritel, kami selalu mengoptimalkan ruangan yang ada. Selain
menambah pendapatan, yang pertama-tama kami lihat adalah kepuasan pelanggan.
Ritel harus bisa menjadi tempat senyaman mungkin. Produk baru tentu kami
sambut dengan baik,” ujarnya.
Kelengkapan produk tergantung pula pada ukuran ritel modern tersebut.
Minimarket biasanya mampu menampung sekitar 2.000
item barang, supermarketsekitar 10.000, dan hipermarket bisa mencapai 50.000 macam barang. “Oleh karena
itu, distribusi produk di hipermarket harus melewati proses seleksi sejeli mungkin,”
cetus Sugiyanto.
Perlu diketahui, pendistribusian produk di sebuah hipermarket juga berdasarkan
Majalah MARKETING – Edisi New Distribution Channels / MEI 2008
Copyright@2008 Majalah MARKETING. All Rights Reserved.