Kontan, Minggu II, April 2008, 16-April-2008
Tidak Ngeri Dengan Barang Tanpa Garansi Resmi
Berhati-hati membeli barang di peritel besar agar tidak tertipu produk selundupan
Membeli barang di took ritel besar dan terkenal ternyata belum bisa menjadi jaminan bahwa barang yang dibeli adalah barang legal. Dus, konsumen harus benar-benar teliti agar tidak terjebak membeli barang berstatus illegal.
Anda pilih belanja elektronik di mana? Di pasar seperti Glodok atau pasar modern? Belanja di pasar modern jelas lebih nyaman, harganya pun pasti, tidak perlu tawar-menawar lagi. Anda juga tak perlu khawatir, karena barang elektronik gerai modern lazimnya bergaransi resmi, bukan garansi toko.
Tren belanja elektronik dan teknologi informasi di gerai modern memang meningkat. Tahun 2005, misalnya, belanja elektronik dan TI Indonesia berkisar Rp 25 triliun. Jika saban tahun ada pertumbuhan pasar 20%, tahun lalu pasar Indonesia menyerap barang elektronik dan TI senilai Rp 36 triliun. Nah, sekitar 30% dari angka tersebut disumbang oleh peritel modern.
Hanya, belakangan ternyata barang-barang di gerai modern bukan melulu datang dari prinsip elektronik resmi di negara ini. Tak ubahnya pasar tradisional, disana terselip pula barang yang tak punya garansi resmi Indonesia.
Kejadian ini menimpa salah seorang konsumen Carrefour. Ceritanya, dua tahun yang lalu konsumen tersebut membeli televisi LG di Carrefour. Televisi itu belakangan rusak. Merasa membeli produk resmi, dia pun membawa televisi tersebut ke service center milik LG. Setelah diperiksa oleh teknisi LG, baru ketahuan bahwa televisi yang dibelinya bukan jenis yang didistribusikan secara resmi oleh distributor resminya di Indonesia. Atau istilah kerennya barang black market.
Kasus Carrefour tadi bukan pertama kali. “Kami pernah mendengar ditemukan kejadian serupa, tapi jumlahnya tak banyak,” papar Handojo Sutanto, Sekretaris Jenderal Electronic Marketer Club (EMC).
Kejadian ini juga bukan hanya menimpa Carrefour. Seorang eksekutif dari perusahaan elektronik di Indonesia mengatakan pihaknya pernah menemukan kasus serupa di gerai Hypermart. “Ada produk dengan brand kami tapi nomor serinya tidak tercatat,” ungkap si eksekutif tadi yang tidak bersedia namanya disebut.
Maklum saja, sebab jumlah barang elektronik selundupan yang beredar di Indonesia masih terhitung besar. Memang tidak ada data yang pasti berapa banyak barang elektronik selundupan yang beredar di Indoenesia. Tapi diperkirakan, dari semua barang elektronik yang ada di pasaran saat ini, 20%-25%nya adalah selundupan. Jumlah tersebut sebenarnya sudah berkurang cukup banyak dibandingkan dengan tiga tahun lalu. Saat itu, jumlah produk elektronik selundupan di Indonesia mencapai angka di atas 50%.
Menghindari pajak
Lazimnya, dalam kejadian seperti disebut tadi peritel tidak memperoleh barang-barang yang dijualnya dari distributor resmi, melainkan dapat pasokan barang dari importir umum.
Hal itulah yang terjadi pada Carrefour. “Kami tidak mendapat barang tersebut dari black market, tapi dari importir umum,” ujar Irawan Kadarman, Direktur Korporasi Carefour Indonesia. Kata Irawan, ada periode tertentu Carrefour mengambil barang dari importir umum.
Menurut produsen elektronik yang dihubungi KONTAN, pasokan yang diambil dari jalur importir umum inilah yang rentan dengan barang-barang dari pasar gelap. Maklum, agen pemegang merek alias prinsipal sulit untuk mengontrol aktivitas para importir umum.
Menurut sumber KONTAN yang tahu lalulintas barang elektronik, ada beberapa tempat yang lazim didatangi importir untuk mencari barang murah buat dijual ke pasar Indonesia. Salah satu yang cukup terkenal adalah Singapura dan Hongkong. Pajak di sana tidak terlalu besar, sehingga harga barang juga lebih murah.
Lucunya, ada juga importir nakal yang ternyata mengambil barang dari distributor resmi produk tersebut di sana. “Jadi, produknya memang resmi produk yang diproduksi oleh brand si prinsipal, tapi spesifikasi produk itu bukan untuk dijual di negara tempat prinsipal berada ,” kata Irfan Suryanto, Manajer Umum Pemasaran PT Sharp Indonesia.
Dus, garansi barang tersebut juga tidak dapat dipenuhi oleh prinsipal di Indoensia. Alhasil, barang itu pun tetap dikategorikan barang black market.
Lantas, bagaimana barang-barang hasil pasar gelap tadi bisa sampai ke rak pajangan di gerai-gerai besar?
Para produsen elektronik menuding semua ini bermula dari getolnya para peritel besar mengumbar diskon. Akibatnya, peritel kurang hati-hati dalam memilih pemasok. “Ada kompetisi yang sangat ketat di antara gerai modern, sehingga mereka cari barang yang murah supaya mereka bisa kasih diskon,” beber Handojo.
Peluang ini lantas disabet importir nakal yang menjanjikan barang dengan harga murah. Alhasil, si peritel bisa memberikan diskon yang lumayan untuk konsumen mereka.
Ada beberapa hal yang menyebabkan harga jual dari importir nakal tadi lebih murah. Salah satunya, si importir mengakali nilai pajak barang tersebut. “Ada dua cara yang biasa dipakai importir nakal kalau memasukkan barang,” kata Handojo.
Pertama, mereka berusaha memperkecil pajak yang harus mereka bayar dengan menyebutkan harga barang lebih murah ketimbang harga aslinya. “Misalnya, barang harganya US$ 1.000 dia sebut Cuma US$ 100,” imbuh Handojo, memberi contoh.
Kedua, importir tadi memasukkan barang tanpa membayar pajak serta bea dan cukai sepeserpun. Padahal lazimnya, “Barang elektronik itu harus bayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 25% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%”, kata Budi Setiawan, Manajer Umum Penjualan PT LG Electronics Indonesia. Dus, si importir bisa mengurangi biaya jual produk sampai 35%. Jumlah yang gede, kan?
Selain itu, para penjual barang-barang pasar gelap tidak perlu menanggung biaya promosi dan pemasaran dan tidak perlu repot-repot menaruh investasi untuk membangun jaringan layanan purna jual.
Tak asal pilih pemasok
Di lain pihak, saat ini persaingan di antara para pemasok juga semakin ketat. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Retail Modern Indonesia (AP3MI) Susanto, sekarang posisi tawar pemasok terhadap pasar modern yang berlomba cari pemasok, sekarang pemasok yang berebut memasukkan barang ke pasar modern.
Alhasil, supaya bisa memasukkan barang ke peritel besar, pemasok pun berusaha menjual barang dengan harga murah. Jadi, “Semuanya ini kan terjadi karena suka sama suka, pasar modern cari barang murah, pemasoknya menyediakan,” tandas Susanto.
Menurut seorang eksekutif di sebuah perusahaan elektronik, pihaknya sebenarnya sudah beberapa kali melakukan komplain ke beberapa ritel besar yang ternyata menjual produk dari black market, termasuk Carrefour. “Kami juga pernah mengadukan hal ini ke Departemen Perdagangan, tapi tidak ada tindak lanjutnya,” keluh sumber KONTAN tadi.
Para peritel besar sendiri membantah bahwa mereka tidak berhati-hati dalam memilih pemasok ke gerai mereka, termasuk importir nakal yang mengakali pajak. “Masa kami berhubungan dengan perusahaan yang tidak jelas? Ya, itu tidak mungkin,” kilah Irawan.
Menurut Irawan, dalam memilih pemasok, Carrefour selalu mempertimbangkan tiga hal: kualitas pemasok, jaminan pasokan yang bisa diberikan pemasok, dan juga prospek pasar barang yang ditawarkan si pemasok. “Kalau kualitas barang bagus, pasokan terjamin, tapi prospek pasar tidak menjanjikan, tidak bisa kami terima juga,” ujar dia.
Saat ini Carrefour memiliki sekitar 3.700 pemasok.
Selain produk-produk elektronik yang sudah terkenal, para peritel juga menjual beberapa produk elektronik bikinan China. Walaupun begitu, para peritel mengaku tidak asal pilih produk China yang dijual. “Untuk merek-merek China, kami ambil barang dari prinsipalnya di Indonesia yang berbentuk distributor nasional,” kata Danny Konjongian, Direktur Korporat Matahari Putra Prima, pemilik Hypermart.
Hypermart sendiri saat ini memiliki sekitar 5.000 pemasok. “Yang aktif, dalam arti secara regular mengirimkan barang, ada sekitar 1.000 sampai 1.500 pemasok,” imbuh Danny.
Sementara itu, untuk menjamin kualitas dan keaslian barang-barang yang dipajang di gerai, pihak Electronic City mengaku selalu mengambil barang langsung dari prinsipal atau distributor resmi yang ditunjuk oleh prinsipal.
Jadi, “Semua barang yang ada di Electronic City dijamin sepenuhnya oleh prinsipal,” sebut Harjanto Joewono, Direktur Komersial Electronic City. Electronic City akan menolak kalau garansi barang tersebut hanya diberikan oleh pihak pemasok
Jangan Tertipu dengan Harga Murah
Kalau membeli barang elektronik di toko elektronik kecil dan menemukan barang black market, itu mungkin sudah biasa. Namun, Anda juga harus berhati-hati membeli barang elektronik di toko-toko yang sudah ternama. Barang pasar gelap pun bisa menyusup dalam rak toko besar itu.
Rasanya memang aneh kalau menemukan barang pasar gelap di rak pajangan sebuah toko ternama. “Kalau di toko elektronik yang tidak jelas, konsumen sudah tahu risikonya. Tapi, di tempat penjualan resmi resmi yang besar, seharusnya ada jaminan untuk konsumen kalau produknya itu resmi,” tandas Husna Zahir, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Membedakan barang elektronik yang datang dari pasar gelap dengan barang elektronik yang didistribusikan secara resmi oleh produsen alias prinsipal memang bukan perkara yang mudah. Nah, agar jangan sampai tertipu membeli produk yang masuk ke Indonesia lewat jalur tidak resmi, ada bebrapa trip yang bisa Anda gunakan sewaktu belanja.
Pertama, Anda tetap harus teliti mengenai garansi untuk produk yang akan Anda beli tersebut. “Tanyakan kepada penjaganya soal garansi barang tersebut apakah garansi diberikan si produsen atau diberikan PT atau CV tertentu yang tidak jelas,” ujar Harjanto Joewono, Direktur Komersial Electronic City. Kalau garansi tersebut diberikan oleh perusahaan yang namanya tidak jelas, sebaiknya Anda segera berpikir untuk membeli barang lain.
Tapi, Anda juga harus berhati-hati. Pasalnya, bisa saja walaupun garansi diberikan oleh produsen merek tersebut, tapi ternyata barang itu adalah barang pasar gelap. Sehingga, ketika ada kerusakan, service center merek tersebut tidak bersedia memperbaiki barang itu.
Hal itu bisa terjadi kalau barang tersebut bukan barang yang didistribusikan secara resmi oleh prinsipal produk di Singapura tidak akan digaransi oleh prinsipal barang elektronik yang sama di Indonesia, walaupun mereknya sama dan asli bikinan pabrik mereka.