Markus S., Aprillia Ika, Novi Diah H., Wahyu Tri R.
JAKARTA. Melesatnya harga-harga komoditas global, seperti minyak bumi, membuat khawatir kalangan pengusaha. Maklum, harga bahan baku yang menjulang bakal mengerek kenaikan harga barang. Ini bisa membuat daya beli konsumen pun bisa jadi terhambat.
Gejala seperti ini, juga merisaukan kalangan peritel. "Apalagi peritel kelas bawah," ucap pengamat ritel, Handaka Santosa. Meski belum ada data pasti, Handaka memperkirakan terjadi penurunan pertumbuhan ritel kelas bawah, sekitar 5%-10%. Ia menunjuk pada pasar tradisional atau toko kelontong.
Nah, apakah hal yang sama bakal mengimbas pada gerai ritel modern? Ternyata setali tiga uang. Misalnya saja, kenaikan harga barang membuat penjualan jaringan Indomaret agak tersendat. Dampaknya, "Kami sudah merasakan kerugian antara 10%-15%," ujar Laurensius Tirta Widjaya, Direktur Operasional PT Indomarco Prismatama, pengelola jaringan Indomaret.
Nampaknya, konsumen tidak lagi jor-joran berbelanja kebutuhan pokok mereka. Saat ini, para konsumen condong selektif dalam memilih barang belanjaan. "Intinya konsumen sudah mulai membatasi belanja mereka," tutur Solihin, General Manager PT Waralaba PT Sumber Alfaria Trijaya, pengelola minimarket Alfamart.
Kendati saat ini kondisi bisnis ritel lagi tidak bagus, toh para peritel masih tetap yakin dengan prospeknya di masa depan. "Bisnis ritel itu tidak akan mati," timpal Solihin, menilai bisnis kebutuhan pokok ini. Lebih ada tren di masyarakat perkotaan, yang lebih suka membeli dengan cara instan, tanpa perlu melakukan tawar-menawar.
Tambah lagi, bagi kalangan menengah ke atas melonjaknya berbagai harga barang, ternyata belum mempengaruhi daya beli mereka. Ini terbukti dari penjualan ritel kelas menengah Matahari yang malah mengalami lonjakan. Yakni, dari rata-rata Rp 900.000 per meter persegi di kuartal pertama 2007 menjadi Rp 1,2 juta per meter pada masa yang sama tahun ini.
Kendati demikian, seluruh pemain tidak berpangku tangan melihat kondisi ini. Mereka tetap punya strategi untuk memancing konsumen berbelanja. Tengok saja, peritel di sekitar kita giat menggelar diskon, purchase with purchase (harga khusus dengan pembelian jumlah tertentu), sampai hadiah undian. Cara tadi masih terbukti ampuh memancing pembeli.
Nah, langkah berikutnya, peritel juga rajin melakukan ekspansi. Meski awalnya harus berinvestasi untuk membuka cabang, toh acapkali itulah cara mendekatkan diri dengan pasar. Buntutnya, kocek tambah tebal.
Lihat saja Alfamart yang bakal memperbesar porsi waralabanya, dari 30% menjadi minimal 40% tahun ini. Matahari pun melakukan hal serupa. Mereka sudah menyiapkan belanja modal hingga Rp 1 triliun untuk menambah gerai Matahari serta Hypermart. Ekspansi gencar ini mereka lancarkan di pasar luar Jawa. "Seperti Sumatra dan Kalimantan yang pasarnya masih lebar," Danny Kojongian, Corporate Communication Director PT Matahari Putra Prima Tbk. Dengan begitu, Matahari yakin pendapatan mereka akal naik 20% jadi Rp 11,5 triliun tahun ini.
Sedangkan Indomaret menargetkan total penjualan Rp 9 triliun di akhir tahun ini, naik dari Rp 7 triliun tahun lalu.
Keyakinan kalangan peritel bukan omong kosong saja. Selain bisnis ini tak lekang oleh waktu, biasanya ada ajang tahunan yang bisa mendongkrak bisnis ini. Seperti liburan panjang atau hari raya.