Carrefour Effect
Oleh: Yuswohady
Kalau di AS kita mengenal istilah ”Wal-Mart Effect”, di Indonesia saya punya istilah yang serupa walaupun tak sepenuhnya sama: “Carrefour Effect”. Saya sebut demikian, karena dari tahun ke tahun sejak debut pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1989, retail giant asal Perancis ini kian perkasa mendominasi (bahkan menghegemoni) industri ritel Tanah Air. Dan, kalau kecepatan ekspansi perusahaan yang kini memiliki 37 gerai ini bisa terus berlangsung seperti sekarang, bisa jadi “Wal-Mart Effect” seperti yang terjadi di AS bakal terjadi di sini.
Istilah “Wal-Mart Effect” muncul untuk menandai keperkasaan Wal-Mart dalam memengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat AS, baik positif maupun negatif. “Size does matter!” Itu kira-kira istilah yang tepat untuk Wal-Mart. Dengan sekitar 4.000 gerai (termasuk Sam’s Club), perusahaan terbesar di dunia ini mempekerjakan 1,3 juta angkatan kerja AS, dikunjungi 120 juta konsumen tiap minggunya, menguasai 6,5% seluruh penjualan ritel; menguasai 15% impor AS dari Cina. Lantaran menjual produk apa pun, mulai dari deodoran, baju, CD musik, komputer, hingga mobil, maka penjual apa pun di AS bersaing head-to-head dengannya. Wal-Mart adalah “musuh siapa pun”.
Oleh karena ukurannya yang seperti gajah bengkak, Wal-Mart bahkan sampai mampu menekan tingkat inflasi AS melalui kebijakan ”Everyday Low Price”. Namun, karena kebijakan harga miring itu pula ia dikritik habis-habisan karena dinilai menekan karyawan dengan memberi gaji yang rendah untuk memangkas biaya. Wal-Mart juga dituding membunuh peritel tempat ia beroperasi, karena begitu gerai Wal-Mart dibuka, pelan tapi pasti, peritel-peritel lain berguguran, kalah bersaing.
Tidak hanya itu, kebijakan ”Everyday Low Price” juga memakan ”korban” para pemasok. Penguasaan konsumen yang demikian powerful dimanfaatkan Wal-Mart untuk menekan para pemasoknya dengan tujuan memangkas biaya dan mendapatkan harga semurah mungkin. Belum lagi tuduhan LSM-LSM bahwa ia adalah perusak lingkungan dan pemicu global warming kelas wahid di AS. (Silakan e-mail ke yuswohady@gmail.com untuk mendapatkan bahan-bahan pdf mengenai “Wal-Mart Effect” dari saya.)
Walaupun tidak seekstrem kasus Wal-Mart, saya melihat gejala Carrefour kian memiliki kekuatan hegemonis yang berdampak baik maupun buruk kepada industri ritel dan ekonomi nasional secara keseluruhan. ”The Good”, berdampak baik; ”The Bad”, berdampak buruk; dan ”The Ugly”, berdampak sangat buruk.
The Good. Kehadiran Carrefour adalah good news bagi konsumen. Kekuatan hegemonis Carrefour terjadi karena kemampuan perusahaan ini dalam memberikan empat extraordinary value kepada konsumen. Pertama, harga murah; kedua, keberagaman jenis produk; ketiga, kenyamanan; keempat, citra berbelanja. Berkat extraordinary value ini, Carrefour memiliki ”daya hisap” layaknya vacuum cleaner dalam ”menyedot” pelanggan-pelanggan dari peritel lain.
The Bad. Oleh karena keperkasaan Carrefour dalam menggaet konsumen, peritel ini memiliki bargaining position yang sangat powerful dalam berhadapan dengan para pemasoknya. Beberapa waktu lalu saya bertemu dan ngobrol dengan CEO sebuah perusahaan consumer goods. Si CEO ini curhat kepada saya, mengeluh karena dengan makin perkasanya Carrefour, peritel kakap ini menjadi besar kepala dan kian ”jual mahal” kepada pemasok. Keluhnya, Carrefour memasang tarif yang super mahal untuk placement produk-produk di gerainya. Tak pelak lagi, rak-rak dan gondolanya menjadi komoditas yang sangat mahal. ”Apa-apa pakai duit, dan mahal minta ampun,” keluhnya lagi.
Keluhan si CEO di atas bukannya yang pertama. Saya banyak mendengar curhat senada dari para pemilik merek. Bahkan, seperti diungkapkan si CEO, dengan modal penguasaan konsumen itu, Carrefour menekan para pemasoknya untuk mendapatkan harga produk ke konsumen semurah mungkin. Carrefour juga menetapkan ketentuan-ketentuan sepihak yang harus diikuti oleh pemasok, karena kalau tidak mengikuti ketentuan itu jangan bermimpi produk si pemasok ini nongkrong di rak atau gondolanya. Pemeo ”siapa menguasai konsumen, ia menguasai segalanya” pas betul menggambarkan kuatnya bargaining position Carrefour dalam berhadapan dengan pemasoknya.
The Ugly. Dampak destruktif Carrefour rupanya lebih jauh lagi menusuk ke ulu hati. Dampak ini terutama dirasakan oleh pesaingnya dan para distributor. Sekali lagi karena keperkasaannya, ekspansi peritel ini memiliki ”daya gilas” yang begitu dahsyat kepada para pesaingnya, baik besar, menengah, maupun kecil. Kita tahu semua, kehadiran Carrefour (yang menempati posisi di tengah kota) telah menyebabkan supermarket-supermarket punah (”Hero...where are you?”), pasar-pasar tradisional sepi, dan toko gudang rabat, seperti Alfa dan Makro, ikut-ikutan terpuruk.
Dampak yang tak kalah mengenaskan menimpa para distributor berbagai jenis produk. Keberadaan Carrefour menjadikan jatah pekerjaan para distributor beragam produk jadi terpangkas. Rantai nilai distribusi menjadi lebih ”compact”, tak perlu berjenjang-jenjang: cukup dari produsen ke Carrefour, lalu Carrefour langsung ke konsumen akhir. Tak perlu lagi distributor-distributor perantara. Memang, untuk saat ini, fenomena tersebut belum signifikan terjadi. Namun, coba bayangkan, sekiranya jumlah Carrefour sudah demikian masif hingga ke level kota dan kabupaten, dan jenis produk yang dijualnya begitu beragam, seperti yang dilakukan Wal-Mart, tidak tertutup kemungkinan para distributor akan betul-betul kehilangan pekerjaannya.
Seburuk-buruknya peritel gajah ini, saya masih tetap cinta Carrefour. Mengapa? Sebab, itu tadi, ia memberi saya dan anak-istri saya harga super miring, ruangan belanja ber-AC nan dingin, one-stop shopping sehingga saya tak perlu pergi ke banyak toko, dan, yang penting... belanja di Carrefour lebih mentereng, jadi bisa ”jaim”. Hehehe....
Ingat!!! ”Menguasai konsumen, berarti menguasai segalanya.”
Penulis adalah direktur eksekutif MarkPlus Institute of Marketing (MIM).